photo logo_polsri1_zps825c0966.png
 photo anigif_zpsf2d9e8ab.gif

Senin, 18 November 2013

S.K. Trimurti, Saksi Mata Proklamasi

Posted by miqbal on 09.14 with No comments

S.K. Trimurti.

         Dia pejuang perempuan yang berumur panjang dan Ia meninggal di usia 96 tahun, saat indonesia memperingati seabad Kebangkitan Nasional 20 Mei 2008. Sejarawan Asvi Warman Adam menuliskan S.K Trimurti sebagai saksi mata-telinga pembacaan teks Proklamasi. Bahkan, sebelum Bendera Merah-putih dikibarkan, ada kabar yang menyebut agar itu dilakukan Trimurti.Trimurti dikenal kritis dan berwawasan jauh ke depan. Menurut Ir Setiadi Reksoprojo, kolega Trimurti, saat menjabat sebagai menteri di kabinet Amir Syarifuddin 1947, suatu ketika membicarakan rencana pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menjembatani konflik antara Indonesia dengan Belanda. Kedua negara itu kemudian memilih Amerika Serikat sebagai negara ketiga. Sebetulnya, dalam sidang kabinet itu, Trimurti mengusulkan Uni Soviet yang mewakili Indonesia. Dengan demikian, ia sudah berpikir bahwa Moskow bisa mengimbangi Blok Barat oleh sekutu.

Hoegeng (Pahlawan Antikorupsi)

Posted by miqbal on 09.11 with No comments
Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 oktober 1921. nama aslinya adalah Iman Santoso. Sewaktu kecil sering dipanggil bugel (gemuk), lama-lama menjadi Bugeng, dan akhirnya berubah menjadi Hugeng. Padalah, setelah dewasa bahkan sampai tua, ia tetap kurus. Ayah Hoegeng, Sukario Hatmodjo, pernah menjadi Kepala Kejaksaan di Pekalongan. Bertiga dengan Kepala Polisi pekalongan, Atang Natadikusumah, dan Ketua Pengadilan pekalongan, Seoprapto, mereka menjadi trio penegak hukum yang jujur dan profesional. Ketiga orang inilah yang menginspirasi sikap memhormati hukum bagi Hoegeng kecil. Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat peristiwa antikorupsi Hoegeng, antara lain, dari penugasannya yang kedua sebagai Kepala Reserse dan Kriminal di Sumatera Utara. Daerah ini terkenal dengan penyelundupan. Hoegeng disambut secara unik, rumah pribadi, dan mobil pribadi yang disediakan sejumlah cukong perjudian. Namun, ia menolak dan lebih memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas. Para cukong itu masih ngotot. Rumah dinas Hoegeng kemudian juga dipenuhi perabot oleh tukang suap. Akhirnya, Hoegeng mengeluarkan itu secara paksa. Maka, gemparlah kota Medan karena ada Kepala Polisi yang tidak mempan disogok. Ang Yan Goan (Pejuang Tionghoa Indonesia) Ang Yan Goan Pejuang Tionghoa Indonesia Perjalanan hidup Ang Yan Goan berhimpitan dengan sejarah etnis Tionghoa dan dinamika perang dingin. Awal abad 20, pemerintah kolonial menerapkan politik etis terhadap penduduk Hindia belanda, antara lain, memberi pendidikan. Namun, fasilitas itu tidak diberikan kepada golongan Tionghoa, sehingga mereka terdorong membuat sekolah sendiri bernama Tiong Hoa hwee Kuan. Ang Yan Goan lahir di Bandung 1894. Menempuh pendidikan dasar di Tiong Hoa Hwee Kuan. Pada 1909, ia dikirim ke Sekolah Ji Nan (sekolah khusus bagi orang Tionghoa perantauan) di Nanjing. Pada 1911, Ang Yan Goan terpaksa kembali ke Jawa akibat meletus revolusi Tiongkok. Pada 1922, Ang Yan Goan menjadi redaktur koran Sin Po. Selama empat dekade ia mengelola surat kabar itu hingga berganti nama Warta Bhakti pada medio 1960-an. Belakangan Warta Bhakti dibredel Orde Baru. Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat Koran Sin Po mempelopori penggunaan istilah "Indonesia" untuk menggantikan "Hindia Belanda" dan Warga Indonesia atau "Bangsa Indonesia" untuk menggantikan "Inlander" pada 1920-an. Koran itu pula yang pertama kali memuat syair lagu Indonesia yang ditulis WR Supratman. Dalam buku Ang Yan Goan disebutkan lagu itu dimuat pada 1930-a. Tapi, arsip yang diperlihatkan Kepala ANRI, Djoko Utomo, anehnya tercantum 27 Oktober 1982. Kalau itu benar, sebelum diperdengarkan secara instrumental pada ikrar Sumpah Pemuda sehari kemudian, teks lagu Indonesia sudah dibocorkan WR Supratman pada Koran Sin PO.

Kisah Pemikul Tandu Jendral Sudirman

Posted by miqbal on 08.59 with No comments
Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia memang takkan pernah dilupakan rakyat. Akan tetapi, tak banyak sosok pejuang yang bisa diingat rakyat. Djuwari (82 tahun), barangkali satu dari sekian banyak pejuang yang terlupakan. Kakek yang pernah memanggul tandu Panglima Besar Jenderal Soedirman itu, kini masih berkubang dalam kemiskinan.
Djuwari berdomisili di Dusun Goliman Desa Parang Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri, kaki Gunung Wilis. Kampungnya merupakan titik start rute gerilya Panglima Besar Sudirman Kediri-Nganjuk sepanjang sekitar 35 km.
Dari Malang, dusun Goliman bisa ditempuh dalam waktu sekitar empat jam perjalanan darat. Kabupaten Kediri lebih dekat di tempuh lewat Kota Batu, melewati Kota Pare Kediri hingga menyusur Tugu Simpang Gumul ikon Kabupaten Kediri. Terus melaju ke jurusan barat, jalur ke Dusun Goliman tak terlalu sulit ditemukan.
Sejam melewati jalur mendaki di pegunungan Wilis, Malang Post pun tiba di pedusunan yang tengah diterpa kemarau. Rute Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman memang sangat jauh dari keramaian kota. Titik start gerilya berada di kampung yang dikepung bukit-bukit tinggi dan tebing andesit.

 Melihat sosok Djuwari tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun lalu memanggul Panglima Besar. Namun dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari. Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode awal kemerdekaan.
Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan. Sehingga angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya yang memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah lusuh dibanding baju atasan.
Rumah-rumah di Dusun Goliman termasuk area kediaman Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan miskin. Beberapa rumah masih berdinding anyaman bambu, jika ada yang bertembok pastilah belum dipermak semen. Sama halnya dengan kediaman Djuwari yang amat sederhana dan belum dilengkapi lantai.
Dia bercerita, memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) adalah kebanggaan luar biasa. Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan apapun.
Sepanjang hidupnya menjadi eks pemanggul tandu Soedirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp 500 ribu, setelah itu belum ada yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.
“Biyen manggule tandu yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu manggul teko Goliman yaiku Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu) karo Djoyo dari (warga Goliman),”(dulu manggulnya ya gantian, kira2 ada 7 orang, yang ikut manggul dari goliman itu Warso dauri, martoredjo, sama Djoyo) akunya.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat.

 Ia nyaris memproklamasikan  Republik Indonesia jika tidak ditawan Jepang. Ketika Belanda menggempur republik yang baru lahir, ia  dipercaya memegang jabatan penting. Mulai dari  menteri pertahanan,  menteri penerangan sampai perdana menteri. Kemampuan politik  dan kontribusinya bagi negara tak kalah dibandingkan Soekarno, Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Dia adalah Amir Sjarifuddin Harahap. Mengapa  negara seperti melupakan jasanya?


17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun, sedikit yang mengetahui,jika  Amir Sjarifuddin  dipercaya tokoh pemuda saat itu  untuk membacakan naskah proklamasi.

Pria asal Sumatera Utara tersebut  dipercaya dapat diterima semua golongan. Terlebih, ia konsisten melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Sejarawan Bonnie Triyana menceritakan, Amir gagal menjadi proklamator karena masih meringkuk dalam penjara Jepang

Amir Sjarifuddin Harahap nama lengkapnya,  lahir 27 April 1907 di Medan, Sumatera Utara. Karena berasal dari keluarga berada, ia bisa melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, ia mengambil sekolah Hukum di Batavia. Ia  kemudian aktif dalam perjuangan di tanah air. Dalam kepanitiaan Sumpah Pemuda 1928, ia dipilih menjadi bendahara.

Keterlibatan Amir dalam panggung politik bisa dirunut pasca-pemberontakan Partai komunis Indonesia 1926-27. Saat itu, penjajah Belanda menangkapi tokoh-tokoh perjuangan dan partai yang menolak bekerjasama.
Setelah Indonesia merdeka, Amir Sjarifuddin berduet dengan Sutan Sjahrir memegang peranan penting selama agresi militer Belanda. Ia ditunjuk sebagai sebagai menteri penerangan pada Kabinet Sjahrir, September 45 hingga Maret 46. Setelahnya, ia menjabat menteri pertahanan sejak November 45- Januari 48.  
Amir menjadi garda depan kabinet sebagai perdana menteri pada Juli 47 hingga Januari 48. Ia ditunjuk karena dianggap bersih dari fasisme Jepang. Tugasnya ketika itu adalah berunding; agar republik mendapat pengakuan dunia dan sah menjadi negara.

Amir Sjarifuddin merupakan salah seorang tokoh PKI. Namun, ia berada di Yogyakarta dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) saat peristiwa Madiun meletus. Ia turut ditangkap beserta beberapa kawannya. Sekitar tengah malam di kompleks makam Desa Ngalihan, kepala Amir Sjarifuddin ditembak oleh seorang letnan polisi militer. 
Sejarawan Wilson Obrigadus mengatakan, kematian Amir Sjarifuddin mencerminkan semangat perjuangannya  “Amir itu tokoh yang unik ya. Mungkin peristiwa kematiannya yang dramatis 19 Desember 1948 di Ngalihan, Solo menggambarkan sosok Amir Sjarifuddin. Ketika ia dieksekusi sekitar jam 11 malam, ia memegang Injil. Namun, sebelum dieksekusi ia menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale, lagu kaum sosialis dan lagu Indonesia raya sebagai lambang ia seorang nasionalis. Inilah jiwa Amir, ia seorang Kristen, nasionalis dan sosialis. Inilah tiga keyakinan yang membuat ia berjuang untuk republik ini.” 
Orang kiri dan komunis itu seringkali tidak mendapat tempat yang layak dalam buku-buku sejarah. Karena, pertama, peristiwa 65 yang masih kontroversi itu seakan-akan menghabiskan jejak mereka dari sejarah. Menghabiskan peran-peran mereka dalam membentuk republik ini. Termasuk Amir, Amir salah seorang yang dihukum mati karena dituduh berada di belakang peristiwa 48 Madiun. Mereka dihukum mati atas perintah Gatot Soebroto.” 

Pendulum ketidakadilan sejarah itu kini mulai berbalik arah sejak reformasi 1998. Jasa Amir Sjarifuddin yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia mulai mendapat pengakuan. Baru pada 2007 keluarga Amir, atas bantuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia  bisa memugar makam bekas perdana menteri  tersebut. 

Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak di Eropa.
Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.

Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.

Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).

Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927. Organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun, pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.

Setelah Indonesia merdeka Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.

Tahun 1949 Tan Malaka ditembak di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya

Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya.

Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda, Inggris dan Amerika.  

AR Baswedan Pejuang Arab Indonesia

Posted by miqbal on 08.47 with No comments

AR Baswedan lahir di Surabaya, Jawa Timur, 9 September 1908 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 1986 pada umur 77 tahun. Abdurrahman Baswedan adalah seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat dan juga sastrawan Indonesia. 
 
AR Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante. 
AR Baswedan adalah salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia yaitu dari Mesir.

AR Baswedan juga yang menyerukan pada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Dia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya untuk menganut asas kewarganegaraan ius soli, di mana saya lahir, di situlah tanah airku.

KRAWANG-BEKASI (puisi)

Posted by miqbal on 08.43 with No comments

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1948
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1948
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957

Create by 3 IC