Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah satu
tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini masih terus berkibar, paling tidak
di Eropa.
Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan
Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool
di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia
tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.
Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan
pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di
Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah
pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern)
untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan
sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.
Ia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama
30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang,
Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy,
Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan
Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi
Minh ( Vietnam).
Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang
kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de
Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak
ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan
Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
Organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun, pada saat yang sama partai-partai
nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.
Setelah Indonesia merdeka Ia memperoleh testamen dari Bung
Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan
tugasnya.
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak di Jawa Timur. Lokasi tempat
Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa
Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek
atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya
Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan
Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus
dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional
itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan
Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali.
Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali
tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan
tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan
PKI.
Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam
Pahlawan Kalibata. Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya.
Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut
sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa demikian, karena Ia berpuluh-puluh
tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan
disamping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang
tahu. Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah
perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali
menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di
Semarang. Padahal Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen Belanda,
Inggris dan Amerika.
0 komentar:
Posting Komentar