Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 oktober 1921. nama aslinya adalah Iman Santoso. Sewaktu kecil sering dipanggil bugel (gemuk), lama-lama menjadi Bugeng, dan akhirnya berubah menjadi Hugeng. Padalah, setelah dewasa bahkan sampai tua, ia tetap kurus.
Ayah Hoegeng, Sukario Hatmodjo, pernah menjadi Kepala Kejaksaan di Pekalongan. Bertiga dengan Kepala Polisi pekalongan, Atang Natadikusumah, dan Ketua Pengadilan pekalongan, Seoprapto, mereka menjadi trio penegak hukum yang jujur dan profesional. Ketiga orang inilah yang menginspirasi sikap memhormati hukum bagi Hoegeng kecil.
Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat peristiwa antikorupsi Hoegeng, antara lain, dari penugasannya yang kedua sebagai Kepala Reserse dan Kriminal di Sumatera Utara. Daerah ini terkenal dengan penyelundupan. Hoegeng disambut secara unik, rumah pribadi, dan mobil pribadi yang disediakan sejumlah cukong perjudian. Namun, ia menolak dan lebih memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas.
Para cukong itu masih ngotot. Rumah dinas Hoegeng kemudian juga dipenuhi perabot oleh tukang suap. Akhirnya, Hoegeng mengeluarkan itu secara paksa. Maka, gemparlah kota Medan karena ada Kepala Polisi yang tidak mempan disogok.
Ang Yan Goan (Pejuang Tionghoa Indonesia)
Ang Yan Goan Pejuang Tionghoa Indonesia
Perjalanan hidup Ang Yan Goan berhimpitan dengan sejarah etnis Tionghoa dan dinamika perang dingin. Awal abad 20, pemerintah kolonial menerapkan politik etis terhadap penduduk Hindia belanda, antara lain, memberi pendidikan. Namun, fasilitas itu tidak diberikan kepada golongan Tionghoa, sehingga mereka terdorong membuat sekolah sendiri bernama Tiong Hoa hwee Kuan.
Ang Yan Goan lahir di Bandung 1894. Menempuh pendidikan dasar di Tiong Hoa Hwee Kuan. Pada 1909, ia dikirim ke Sekolah Ji Nan (sekolah khusus bagi orang Tionghoa perantauan) di Nanjing. Pada 1911, Ang Yan Goan terpaksa kembali ke Jawa akibat meletus revolusi Tiongkok.
Pada 1922, Ang Yan Goan menjadi redaktur koran Sin Po. Selama empat dekade ia mengelola surat kabar itu hingga berganti nama Warta Bhakti pada medio 1960-an. Belakangan Warta Bhakti dibredel Orde Baru.
Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat Koran Sin Po mempelopori penggunaan istilah "Indonesia" untuk menggantikan "Hindia Belanda" dan Warga Indonesia atau "Bangsa Indonesia" untuk menggantikan "Inlander" pada 1920-an. Koran itu pula yang pertama kali memuat syair lagu Indonesia yang ditulis WR Supratman.
Dalam buku Ang Yan Goan disebutkan lagu itu dimuat pada 1930-a. Tapi, arsip yang diperlihatkan Kepala ANRI, Djoko Utomo, anehnya tercantum 27 Oktober 1982. Kalau itu benar, sebelum diperdengarkan secara instrumental pada ikrar Sumpah Pemuda sehari kemudian, teks lagu Indonesia sudah dibocorkan WR Supratman pada Koran Sin PO.
Senin, 18 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar