Perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia memang takkan pernah dilupakan rakyat. Akan tetapi, tak banyak
sosok pejuang yang bisa diingat rakyat. Djuwari (82 tahun), barangkali satu
dari sekian banyak pejuang yang terlupakan. Kakek yang pernah memanggul tandu
Panglima Besar Jenderal Soedirman itu, kini masih berkubang dalam kemiskinan.
Djuwari berdomisili di
Dusun Goliman Desa Parang Kecamatan Banyakan Kabupaten Kediri, kaki Gunung
Wilis. Kampungnya merupakan titik start rute gerilya Panglima Besar Sudirman
Kediri-Nganjuk sepanjang sekitar 35 km.
Dari Malang, dusun
Goliman bisa ditempuh dalam waktu sekitar empat jam perjalanan darat. Kabupaten
Kediri lebih dekat di tempuh lewat Kota Batu, melewati Kota Pare Kediri hingga
menyusur Tugu Simpang Gumul ikon Kabupaten Kediri. Terus melaju ke jurusan barat,
jalur ke Dusun Goliman tak terlalu sulit ditemukan.
Sejam melewati jalur
mendaki di pegunungan Wilis, Malang Post pun tiba di pedusunan yang tengah
diterpa kemarau. Rute Gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman memang sangat
jauh dari keramaian kota. Titik start gerilya berada di kampung yang dikepung
bukit-bukit tinggi dan tebing andesit.
Melihat sosok Djuwari tak nampak kegagahan
pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun lalu memanggul Panglima Besar. Namun
dipandang lebih dekat, baru tampak sisa-sisa kepahlawanan pemuda Djuwari. Sorot
mata kakek 13 cucu itu masih menyala, menunjukkan semangat perjuangan periode
awal kemerdekaan.
Sang pemanggul tandu
Panglima Besar itu mengenakan baju putih teramat lusuh yang tidak dikancingkan.
Sehingga angin pegunungan serta mata manusia bebas memandang perut keriputnya
yang memang kurus. Sedangkan celana pendek yang dipakai juga tak kalah lusuh
dibanding baju atasan.
Rumah-rumah di Dusun Goliman
termasuk area kediaman Djuwari tak begitu jauh dari kehidupan miskin. Beberapa
rumah masih berdinding anyaman bambu, jika ada yang bertembok pastilah belum
dipermak semen. Sama halnya dengan kediaman Djuwari yang amat sederhana dan
belum dilengkapi lantai.
Dia bercerita,
memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) adalah
kebanggaan luar biasa. Kakek yang memiliki tiga cicit itu mengaku memanggul
tandu jenderal merupakan pengabdian. Semua itu dilakukan dengan rasa ikhlas
tanpa berharap imbalan apapun.
Sepanjang hidupnya
menjadi eks pemanggul tandu Soedirman, keluarga Djuwari beberapa kali didatangi
cucu Panglima Besar. Pernah suatu kali diberi uang Rp 500 ribu, setelah itu
belum ada yang datang membantu. Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah
pada zaman Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras.
“Biyen manggule tandu
yo gantian le, kiro-kiro onok wong pitu, sing melu manggul teko Goliman yaiku
Warso Dauri (kakak kandungnya), Martoredjo (kakak kandung lain ibu) karo Djoyo
dari (warga Goliman),”(dulu manggulnya ya gantian, kira2 ada 7 orang, yang ikut
manggul dari goliman itu Warso dauri, martoredjo, sama Djoyo) akunya.
Perjalanan mengantar
gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan dikawal
banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan
berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat.